📜📝📜📝📜📝
MEMBANTAH HUJJAH PRAKTIK MUT'AH
Ditulilis Oleh:
Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifai
__________________ 📝
عَنْ عَلِيٍّ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يُلَيِّنُ فِي مُتْعَةِ النِّسَاءِ فَقَالَ: مَهْلًا يَا ابْنَ عَبَّاسٍ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ, نَهَى عَنْهَا يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bersikap lunak tentang praktik mut’ah atas kaum wanita. Lalu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pun menegur, “Hati-hati, wahai Ibnu Abbas! Sebab, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang praktik mut’ah pada Perang Khaibar. Demikian juga, beliau melarang untuk mengonsumsi keledai peliharaan.”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu Membolehkan Mut’ah?
Awalnya, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma memang memperbolehkan nikah mut’ah (HR. al-Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1407). Namun, beliau diingkari oleh para sahabat, seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin az- Zubair, dan tentu saja Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana halnya riwayat di atas. Dalam beberapa riwayat diterangkan bahwa pendapat Ibnu Abbas itu pun hanya dalam keadaan darurat, sebagaimana halnya hukum darah, bangkai, dan daging babi. Hanya saja, sebagian orang bermudah-mudah dengan fatwa tersebut. Akhirnya, Ibnu Abbas pun rujuk dan mencabut fatwa tersebut.
Abu ‘Awanah (al-Mustakhraj, no. 4057) meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari ar-Rabi’ bin Sabrah, beliau berkata, “Sebelum meninggal dunia, Ibnu Abbas telah rujuk dari fatwa tersebut.” Lalu, apakah termasuk sikap adil, menisbatkan satu pendapat kepada seseorang, sementara ia sendiri telah rujuk dan mencabut pendapat tersebut?
Satu dari Dosa Syiah
Na’udzu billah minal hawa wal bida’! Benar-benar sebuah kejahatan dan kekejian besar! Agama diperalat sebagai alat pembenaran untuk melakukan sebuah dosa nista. Dengan iming-iming praktik mut’ah, sudah sekian banyak kaum muda menjadi korban paham Syiah yang menyesatkan. Setumpuk hadits palsu tentang pahala dan derajat tinggi bagi pelaku mut’ah tanpa malu dan rasa takut kepada Allah Subhanahu wata’ala disodorkan kepada kaum muda. Kejahilan akan hakikat Islam semakin memperparah kondisi mereka.
Akhirnya? “Saya benar-benar menyesal! Lebih baik mati daripada hidup seperti ini. Saya menyangka praktik mut’ah adalah bagian dari syariat Islam. Ternyata, dusta kaum Syiah belaka!” sesal seorang pemuda.
Mut’ah sendiri artinya bentuk akad dengan seorang wanita untuk berhubungan suami istri, baik dalam jangka waktu tertentu maupun tidak, asalkan tidak lebih dari empat puluh lima hari, tanpa ada keharusan menafkahi, tidak menyebabkan saling mewarisi, tidak mengharuskan nasab, dan tanpa masa iddah. Bahkan, kalangan Syiah tidak mensyaratkan adanya wali dan saksi.
Takhrij Hadits
Hadits di atas diriwayatkan oleh al- Imam
al-Bukhari (no. 1407), al-Imam Muslim (no.
4216), Ahmad (1/79), an-Nasa’i (6/125),
at-Tirmidzi (no. 1121), dan Ibnu Majah
(1961), lafadz hadits di atas adalah lafadz
al-Imam Muslim rahimahumullah. Hadits di
atas diriwayatkan dari Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam oleh Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang
dihormati, dimuliakan, dan dijunjung tinggi
oleh seluruh kaum muslimin, termasuk oleh
kaum Syiah. Bahkan, menurut Syiah, Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dianggap
sebagai junjungan tertinggi mereka. Lantas
mengapa mereka tidak meneladani Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang
menegaskan bahwa praktik mut’ah telah
diharamkan sampai hari kiamat?
Kemudian, siapakah perawi yang
menyambung mata rantai sanad hadits di
atas? Tidak lain putra kandung Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu sendiri yang
bernama Muhammad bin Ali bin Abi Thalib,
yang lebih dikenal dengan Muhammad bin
al-Hanafiyyah. Siapakah perawi yang
berikutnya? Dua orang perawi. Kedua-
duanya adalah putra kandung Muhammad
bin al- Hanafiyyah, cucu Ali bin Abi Thalib.
Pertama, Al-Hasan bin Muhammad bin Ali
bin Abi Thalib; yang kedua adalah Abdullah
bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib. Bagi
kaum Syiah yang mengaku cinta kepada Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, buktikan
kecintaan itu dengan meneladani beliau dan
anak cucu beliau g yang telah melarang
praktik mut’ah!
Hadits-Hadits tentang Mut’ah
Riwayat dari Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam tentang praktik mut’ah
memang berbeda-beda. Ada sebagian
riwayat menunjukkan tentang haramnya
praktik mut’ah, namun ada juga riwayat
yang secara jelas menerangkan bolehnya
praktik mut’ah. Di sini salah satu letak
keanehan kaum Syiah! Mereka berargumen
dengan hadits-hadits yang membolehkan
praktik mut’ah, padahal mereka sendiri
mencela dan menolak kitab-kitab hadits
yang meriwayatkan tentang bolehnya
praktik mut’ah. Bagi mereka dan yang
sependapat, hanya hadits-hadits yang
membolehkan praktik mut’ah saja yang
diterima. Sementara itu, seorang muslim
yang berusaha memahami hadits dengan
bimbingan ulama, dengan mudahnya
memahami riwayat-riwayat tersebut.
Jika riwayat-riwayat tersebut direkonstruksi
dengan sejarah, kesimpulan akhirnya akan
sejalan dengan keterangan al-Imam an
Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih
Muslim. Beliau mengatakan, “Pendapat yang
benar dan dipilih, pengharaman dan
pembolehan nikah mut’ah masing-masing
terjadi sebanyak dua kali. Sebelum peristiwa
Khaibar dihalalkan, kemudian pada saat
perang Khaibar diharamkan. Lalu ketika
terjadi Fathu Makkah—termasuk Perang
Authas karena bersambung—, nikah mut’ah
diperbolehkan lagi. Akan tetapi, tiga hari
kemudian, nikah mut’ah diharamkan untuk
selamanya sampai hari kiamat.” Sahabat
Rabi’ bin Sabrah radhiyallahu ‘anhu berkata,
ﺃَﻣَﺮَﻧَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ , ﺑِﺎﻟْﻤُﺘْﻌَﺔِ ﻋَﺎﻡَ ﺍﻟْﻔَﺘْﺢِ ﺣِﻴﻦَ ﺩَﺧَﻠْﻨَﺎ
ﻣَﻜَّﺔَ، ﺛُﻢَّ ﻟَﻢْ ﻧَﺨْﺮُﺝْ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺣَﺘَّﻰ ﻧَﻬَﺎﻧَﺎ ﻋَﻨْﻬَﺎ
“Pada tahun Fathu Makkah, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan
kami untuk melakukan mut’ah ketika kami
memasuki kota Makkah. Kemudian, tidaklah
kami keluar meninggalkan kota Makkah
kecuali dalam keadaan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam telah
mengharamkannya untuk kami.” (HR.
Muslim no. 1406)
Pada saat itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ، ﺇِﻧِّﻲ ﻗَﺪْ ﻛُﻨْﺖُ ﺃَﺫِﻧْﺖُ ﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻲ ﺍ
ﺳْﺎﻟِْﺘِﻤْﺘَﺎﻉِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ، ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻗَﺪْ ﺣَﺮَّﻡَ ﺫَﻟِﻚَ ﺇِﻟَﻰ
ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ، ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﻣِﻨْﻬُﻦَّ ﺷَﻲْﺀٌ ﻓَﻠْﻴُﺨَﻞِّ
ﺳَﺒِﻴﻠَﻪُ ﻭَ ﺗَﺄْﺧُﺬُﻭﺍ ﻣِﻤَّﺎ ﺁﺗَﻴْﺘُﻤُﻮﻫُﻦَّ ﺷَﻴْﺌًﺎ
“Wahai manusia, sesungguhnya dahulu aku
pernah mengizinkan kalian untuk melakukan
mut’ah atas kaum wanita. Sesungguhnya
Allah telah Subhanahu wata’ala
mengharamkan mut’ah sampai hari kiamat.
Barang siapa masih terikat mut’ah dengan
wanita, tinggalkanlah dia dan janganlah
kalian mengambil kembali barang yang
telah diberikan.”
Ijma’ Ulama
Selain itu, seluruh ulama kaum muslimin
telah sepakat tentang haramnya praktik
mut’ah. Jadi, siapa pun yang berpendirian
bolehnya praktik mut’ah, sama artinya
dengan menyelisihi ijma’ kaum muslimin.
Ibnu Hubairah rahimahullah menegaskan,
“Alim ulama telah berijma’ bahwa nikah
mut’ah hukumnya batil. Tidak ada sedikit
pun perselisihan di antara mereka.” Al-
Qurthubi rahimahullah menyatakan, “Seluruh
riwayat bersepakat bahwa masa
diperbolehkannya nikah mut’ah tidaklah
terlalu lama. Kemudian, setelah itu nikah
mut’ah diharamkan. Berikutnya, ulama salaf
dan khalaf telah berijma’ tentang
diharamkannya nikah mut’ah, kecuali kaum
Rafidhah yang tidak perlu
dianggap.” (Taudhihul Ahkam, karya Alu
Bassam 5/294)
Selain beliau berdua, masih banyak lagi
ulama yang menyatakan bahwa praktik
mut’ah diharamkan secara ijma’, antara lain
al-Jashash rahimahullah (Tafsir 2/153),
Ibnul Mundzir rahimahullah (Majmu’ Syarhil
Muhadzab, 16/254), Ibnu Abdil Barr
rahimahullah (al-Istidzkar, 16/294), al-
Maziri rahimahullah (al-Mu’lim, 2/131), al-
Qadhi ‘Iyadh rahimahullah (Syarah Muslim
9/181), dan al-Hamadzani rahimahullah (al-
I’tibar, hlm. 177).
Apakah Umar bin al-Khaththab
radhiyallahu ‘anhu yang Melarang Mut’ah?
Sebuah riwayat dari Jabir bin Abdillah
radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh al-
Imam Muslim (no. 1405). Beliau
mengatakan,
ﻓَﻌَﻠْﻨَﺎﻫُﻤَﺎ ﻣَﻊَ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ , ﺛُﻢَّ ﻧَﻬَﺎﻧَﺎ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ ﻋُﻤَﺮُ ﻓَﻠَﻢْ
ﻧَﻌُﺪْ ﻟَﻬُﻤَﺎ
“Kami melakukan keduanya (mut’ah dan
haji tamattu’) di masa Rasulullah. Kemudian
Umar melarang kami untuk melakukannya.
Sejak itu, kami tidak mengulanginya lagi.”
Kaum Syiah bersandar kepada riwayat Jabir
di atas untuk mempertahankan praktik
mut’ah. Alasan mereka, bukan Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang melarang, melainkan Umar bin al-
Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Lihatlah
bagaimana mereka memaksakan pendapat!
Padahal ketika Umar bin Khaththab
radhiyallahu ‘anhu diangkat sebagai Amirul
Mukminin (Ibnu Majah, 1963), beliau
menyampaikan khutbah, “Sesungguhnya,
dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam memang mengizinkan kita selama
tiga hari untuk melakukan mut’ah, tetapi
setelah itu beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam mengharamkannya. Demi Allah,
tidaklah aku mengetahui ada seseorang
yang melakukan mut’ah dalam keadaan dia
muhshan kecuali pasti akan aku rajam dia
dengan batu.
Kecuali jika dia mampu mendatangkan
empat saksi yang memberikan kesaksian
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam telah menghalalkannya setelah
diharamkan.” Ath-Thahawi rahimahullah
(Ma’anis Sunan, 2/258) mengatakan, “Inilah
Umar yang telah melarang mut’ah untuk
kaum wanita di hadapan para sahabat yang
lain dan beliau tidak diingkari. Hal ini
menunjukkan bahwa para sahabat sepakat
dengan beliau untuk melarang mut’ah.
Kesepakatan mereka ini—untuk melarang
mut’ah—adalah dalil bahwa hukum
diperbolehkannya mut’ah telah dihapus,
sekaligus sebagai hujah.” Sebagian Ulama
Membolehkan?
Di dalam beberapa referensi, memang
disebutkan beberapa nama sahabat dan
tabi’in yang memperbolehkan praktik
mut’ah. Sebut saja Abdullah bin Mas’ud,
Mu’awiyah, Abu Sa’id, Salamah dari
kalangan sahabat, Amr bin Huraits, Thawus,
dan Sa’id bin Jubair rahimahumullah dari
kalangan tabi’in. Hanya saja, semua riwayat
dari mereka tidak terlepas dari dua
kemungkinan:
1. Mereka telah rujuk dan mencabut
pendapat tersebut, atau
2. Diriwayatkan melalui sanad yang lemah.
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
membahas riwayat-riwayat tersebut secara
rinci dalam kitab beliau Fathul Bari (10/216
—218) dengan keterangan yang
memuaskan. Walhamdulillah.
Ayat Mut’ah dalam Al-Qur’an?
Syiah masih juga memperjuangkan praktik
mut’ah dengan menukil firman Allah
Subhanahu wata’ala di dalam surat an-
Nisa’ ayat 24,
“Maka istri-istri yang telah kamu nikmati
(campur) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka mut’ahnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban.”
Mayoritas ahli tafsir menerangkan bahwa
ayat di atas berkenaan dengan akad nikah
yang biasa dikenal, bukan praktik mut’ah.
Maksudnya, jika salah seorang di antara
kalian menikahi seorang wanita, hendaknya
ia menyerahkan mahar untuknya. Memang
ada beberapa ahli tafsir yang menyatakan
bahwa ayat ini terkait dengan praktik
mut’ah. Akan tetapi, mereka sendiri
menegaskan bahwa hukum mut’ah telah
mansukh (gugur) dengan hadits-hadits yang
sahih. Wallahu a’lam.
Selain ayat di atas, kalangan Syiah juga
menyebutkan beberapa ayat al- Qur’an yang
diklaim sebagai landasan dari praktik
mut’ah. Ayat-ayat tersebut antara lain; al-
Baqarah: 236, al- Baqarah: 241, al-Ahzab:
28, dan al-Ahzab: 49.
Cukuplah sebagai jawaban untuk mereka,
pernyataan tegas az-Zujjaj (Syarah an-
Nasa’i karya al-Atyubi 28/), “Sesungguhnya,
sebagian kalangan telah terjatuh dalam
kesalahan fatal berkenaan ayat ini karena
kebodohan mereka terhadap lughah (bahasa
Arab).”
Seorang Pemuda dan Rasulullah
Sebagai bukti lain kejahatan kaum Syiah
dalam praktik mut’ah, mereka sendiri—
terutama kalangan tokoh dan pimpinan
Syiah—akan merasa keberatan jika praktik
mut’ah itu dilakukan terhadap keluarga
mereka, baik ibu, istri, putri, saudara
perempuan, maupun bibi mereka. Semakin
jelaslah bahwa praktik mut’ah adalah
praktik zina yang dilakukan atas nama
agama. Na’udzu billah min dzalik. Simaklah
hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu
berikut ini, yang dikeluarkan oleh al- Imam
Ahmad rahimahullah dan dinyatakan sahih
oleh al-Albani. Seorang pemuda datang
menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk meminta izin agar
diperbolehkan melakukan perbuatan zina.
Dengan penuh kasih sayang, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam mengarahkan
cara berpikir pemuda tersebut. Beliau
bertanya, “Relakah engkau jika hal itu terjadi
pada ibumu? Relakah engkau jika hal itu
terjadi pada putrimu? Relakah engkau jika
hal itu terjadi pada saudara perempuanmu?
Relakah engkau jika hal itu terjadi pada
bibimu (dari jalur ayah)? Relakah engkau
jika hal itu terjadi pada bibimu (dari jalur
ibu)?” Setiap kali Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bertanya, pemuda itu pasti
menjawab, “Tentu tidak! Demi Allah! Allah
Subhanahu wata’ala menjadikanku sebagai
tebusan Anda.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Kalau begitu, orang-orang pun
tidak rela jika hal itu terjadi pada ibu, putri,
saudara perempuan, dan bibi mereka!” Oleh
karena itu, siapa pun yang berpendapat
tentang bolehnya praktik mut’ah, apakah ia
bisa menerima jika praktik mut’ah dilakukan
kepada ibu, putri, atau saudara
perempuannya??? Masih banyak lagi sisi-
sisi buruk dan jahat dari praktik mut’ah
yang tidak dapat diuraikan dalam
pembahasan ringkas ini, baik secara sosial
kemasyarakatan, kesehatan, tatanan
keluarga, ekonomi, pelecehan kaum wanita,
dan lain-lain. Namun, sedikit keterangan di
atas sebenarnya telah lebih dari cukup
untuk menegaskan haramnya praktik
mut’ah. Bagi orang yang berakal, tentunya!
Wallahul muwaffiq.
http://asysyariah.com/hadist-membantah- hujah-praktik-mutah/
Via :http://salafybpp.com/index.php/manhaj-salaf/275-membantah-hujah-praktik-mut-ah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar