Jumat, 20 Februari 2015

KRITIK TERHADAP KEBATILAN DAN PARA PERILAKUNYA, PRINSIP ISLAM YANG KIAN DITINGGALKAN

KRITIK TERHADAP KEBATILAN DAN PARA
PERILAKUNYA, PRINSIP ISLAM YANG KIAN
DITINGGALKAN


Ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-
Atsari, Lc

Sikap kritis tampaknya memang tidak mudah
dibudayakan di tengah masyarakat yang
tenggelam dalam kultus individu dan fanatisme
golongan. Yang muncul justru sikap kritis yang
kebablasan: kebenaran yang telah pasti justru
diotak-atik, sementara yang nyata-nyata
menyimpang justru dibiarkan tanpa dikritisi
dengan dalih ukhuwah Islam ataupun demi
persatuan umat.
Konsep persatuan dan rapatkan barisan,
nampaknya menjadi konsep yang laker (laku
keras) saat ini. Dengan ciri khas mengedepankan
persatuan, tanpa mempermasalahkan latar
belakang pemahaman agama masing-masing
unsurnya, konsep ini terus bergulir. Slogan “Islam
warna-warni” terus didengungkan, seiring dengan
semakin merasuknya konsep batil ini di tengah
umat Islam. Motto kelompok sesat Ikhwanul
Muslimin “saling bantu-membantu dalam hal-hal
yang disepakati bersama dan saling menghargai
(tidak mempermasalahkan) perbedaan-perbedaan
yang ada” pun turut meramaikan suasana. Tak
peduli apakah perbedaan tersebut berkaitan
dengan masalah prinsip ataukah tidak. Hingga
sampailah pada klimaksnya di mana tidak boleh
saling mengkritik kesalahan dan pelakunya
meskipun kesalahan tersebut hakekatnya
termasuk masalah prinsip dalam agama ini.
Subhanallah, sedemikian sucikah kebatilan dan
para pelakunya itu…?!

Kebatilan dan Pelakunya Pada Umat Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Azza wa jalla telah menetapkan bahwa
setiap nabi mempunyai musuh dari jenis jin dan
manusia yang selalu menentang mereka dan
mengajak umat manusia kepada kebatilan. Allah
Subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi
itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis)
manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian dari
mereka membisikkan kepada sebagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk
menipu manusia.” (Al-An’am: 112)

Meski demikian Allah Azza wa jalla tetap
memerintahkan Rasul-Nya untuk terus mengajak
kepada kebenaran dan mencegah dari kebatilan.
Allah Azza wa jalla berfirman:

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-
terangan segala apa yang diperintahkan
(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang
musyrik. Sesungguhnya kami memelihara kamu
dari (kejahatan) orang yang memperolok-olokkan
(kamu).” (Al-Hijr: 94-95)

Hal ini menunjukkan bahwa kebatilan dan
pelakunya, benar-benar ada pada umat
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana yang diriwayatkan shahabat
Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu , ia
berkata: “Orang-orang (para shahabat) selalu
bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam tentang kebaikan, sedangkan aku selalu
bertanya kepada beliau tentang kejelekan, karena
aku khawatir kejelekan itu akan menimpaku.
Maka aku berkata: “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kami dahulu tenggelam dalam
kehidupan jahiliyah dan kejelekan, kemudian Allah
menganugerahkan kepada kami kebaikan (Al-
Islam) ini. Apakah setelah kebaikan ini akan ada
kejelekan?” Beliau bersabda: “Ya.” Aku berkata:
“Dan apakah setelah kejelekan itu akan ada
kebaikan lagi?” Beliau bersabda: “Ya, namun ada
kelemahan (pergeseran dalam agama) padanya.”
Aku berkata: “Apa kelemahan itu?” Beliau
bersabda: “Adanya suatu kaum yang berpegang
dengan selain Sunnahku dan membimbing
manusia dengan selain petunjukku, engkau
mengetahui apa yang datang dari mereka dan
bisa mengingkari.” Aku pun berkata: “Apakah
setelah kebaikan itu akan ada kejelekan lagi?”
Beliau bersabda: “Ya, adanya para da’i yang
menyeru kepada pintu-pintu jahannam.
Barangsiapa menyambut ajakan mereka, niscaya
akan dilemparkan ke dalamnya (jahannam).” Aku
berkata: “Wahai Rasulullah, apa nasehatmu jika
aku mendapatinya?” Beliau bersabda: “Berpegang
teguhlah dengan jamaah kaum muslimin dan
imam (pemimpin) mereka.” Aku berkata:
“Bagaimana jika mereka (kaum muslimin) tidak
mempunyai jamaah dan imam?” Beliau bersabda:
“Hendaknya engkau tinggalkan semua kelompok-
kelompok (yang menyeru kepada kesesatan) itu,
meskipun engkau harus berpegangan (menggigit)
akar pohon sampai kematian mendatangimu dan
engkau dalam keadaan seperti itu.”(HR. Al-
Bukhari, no.7084 dan Muslim, no.1847, dengan
lafadz Muslim)

Disebutkan pula dalam hadits Al-‘Irbadh bin
Sariyah Radhiyallahu ‘anhu dia berkata:
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah
menasehati kami dengan suatu nasehat yang
sangat mengena, membuat hati trenyuh, dan air
mata berlinang. Maka kami berkata: ‘Wahai
Rasulullah, sepertinya ini nasehat seseorang yang
akan meninggalkan (kami), maka berilah kami
wasiat.’ Beliau pun akhirnya bersabda: ‘Aku
wasiatkan kepada kalian agar selalu bertaqwa
kepada Allah dan mendengar lagi taat (pada
pemerintah) walaupun kalian dipimpin oleh
seorang budak . Sesungguhnya siapa saja di
antara kalian yang hidup (sepeninggalku nanti)
maka ia akan melihat perselisihan yang cukup
banyak. Maka wajib bagi kalian (berpegang-
teguh) dengan Sunnahku dan Sunnah Al-Khulafa`
Ar-Rasyidin setelahku yang terbimbing.
Berpegang teguhlah kalian dengannya dan
gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian, serta
hati-hatilah dari perkara-perkara yang diada-
adakan (dalam agama), karena setiap bid’ah itu
sesat.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ahmad.
Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah
dalam Al Irwa’, no. 2455)

Sikap Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
Terhadap Kebatilan dan Pelakunya

Demikianlah wasiat agung Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam untuk umatnya, agar mereka
tidak larut dalam kesesatan dan dihempaskan
oleh hawa nafsu. Perhatikanlah, beliau tidak
hanya menunjukkan jalan kebenaran yang harus
ditempuh, yaitu berpegang teguh dengan manhaj
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para
shahabatnya. Akan tetapi beliau iringkan pula
prinsip lainnya, yaitu memperingatkan umat dari
kebatilan dan segala apa yang diada-adakan
dalam agama ini (bid’ah). Beliau Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

“Dan berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara
yang diada-adakan (dalam agama).”

Dari sini nampak jelas bahwa perkataan sebagian
orang: “Ajarkanlah kepada umat suatu kebenaran,
niscaya mereka dapat mengetahui kebatilan
dengan sendirinya,” adalah perkataan yang batil.

Sudah seyogyanya bagi kita menanamkan manhaj
salaf (kebenaran) di hati sanubari umat dan
memperingatkan mereka dari apa yang
menyelisihinya (kebatilan), seperti yang telah
dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam sebagaimana dalam hadits Al-Irbadh bin
Sariyah Radhiyallahu ‘anhu di atas.
Demikian pula Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam tidak mencukupkan peringatan/ kritik
terhadap kebatilan semata, akan tetapi beliau
juga memperingatkan umat dari para penyeru
kebatilan yang menyebarkan kebatilan tersebut di
tengah-tengah umat, menghalangi mereka dari
jalan istiqamah, serta menipu umat dengan
hiasan kata-kata agar mereka terkelabui
dengannya. Bahkan beliau Shalallahu ‘alaihi wa
sallam tak segan-segan menyebutkan nama-
nama mereka, tanpa mencukupkan penyebutan
sifat dan kebatilan mereka semata. Tidak ada
yang mendorong beliau Shalallahu ‘alaihi wa
sallam untuk memberikan peringatan tersebut
kecuali kekhawatiran beliau terhadap umatnya
dari penyimpangan dan dari syi’ar-syi’ar
kebatilan yang menipu.
Ketahuilah, beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam
telah memperingatkan (umat) dari orang-orang
Khawarij sebagaimana yang terdapat di dalam
hadits Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu
tentang Dzul Khuwaishirah yang pernah
mengatakan (dengan lancang):

“Berbuat adillah, wahai Muhammad!”

Ketika Umar Radhiyallahu ‘anhu berkehendak
untuk membunuh orang yang tidak tahu diri ini,
beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun
mencegahnya. Dan ketika Dzul Khuwaishirah
beranjak pergi, beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam
memperingatkan (para shahabat) darinya dan
dari para pengikutnya, seraya bersabda:

 “Sesungguhnya ia mempunyai para pengikut yang
salah seorang dari kalian merasa shalatnya tidak
ada apa-apanya dibandingkan shalat mereka,
shaumnya tidak ada apa-apanya dibandingkan
shaum mereka. Mereka (selalu) membaca Al
Qur`an namun tidaklah melewati kerongkongan
(tidak dihayati dan dipahami maknanya, pen).
Mereka keluar dari (prinsip) agama sebagaimana
keluarnya (menembusnya) anak panah dari tubuh
hewan buruan.” (HR. Al-Bukhari no. 3610 dan
Muslim no. 1064)

Dan juga sabda beliau, sebagaimana dalam
hadits Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu :
“Mereka adalah sejahat-jahat makhluk.” (HR.
Muslim no. 1067)
Sebagaimana pula sabda beliau Shalallahu ‘alaihi
wa sallam tentang Qadariyyah (para pengingkar
taqdir):
“Al-Qadariyyah itu Majusi umat ini. Jika mereka
sakit, maka jangan dijenguk. Dan jika meninggal
dunia, jangan disaksikan (dihadiri) jenazahnya.
”( HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, hadits
no. 338 dari shahabat Abdullah bin ‘Umar
Radhiyallahu ‘anhu dan dihasankan Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullah dalam Zhilalul Jannah)

Sikap Para Shahabat Terhadap Pelaku Kebatilan

Para shahabat pun berpegang teguh dengan
prinsip dan sunnah beliau Shalallahu ‘alaihi wa
sallam di dalam menyikapi pelaku kebatilan dan
memperingatkan umat dari mereka. ‘Umar bin Al-
Khaththab Radhiyallahu ‘anhu ketika sampai
kepadanya perihal Shabigh bin ‘Isl Al-Iraqi yang
selalu bertanya tentang ayat-ayat mutasyabih
dalam Al Qur`an sehingga membingungkan
sebagian umat, maka Umar mengirim utusan
untuk memanggil Shabigh. Ketika ia datang, Umar
pun langsung memukulnya dengan pelepah kurma
hingga benar-benar kesakitan, kemudian menulis
mandat kepada Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu
‘anhu agar tidak ada seorang pun dari kaum
muslimin yang duduk-duduk bersamanya. (Lihat
Al-Bida’ Wannahyu ‘Anha, karya Ibnu Wadhdhah,
hal. 56, dan Al-Ishabah, 5/168-169)

Demikian pula sikap Abdullah bin Umar
Radhiyallahu ‘anhuma terhadap ahlul qadar
(pengingkar taqdir), (yaitu) ketika sampai
kepadanya syubhat yang dihembuskan oleh
Ma’bad Al-Juhani dan para pengikutnya
“bahwasanya taqdir itu tidak ada, dan urusan ini
baru (yakni amalan manusia bersumber dari diri
mereka sendiri dan tidak ada kaitannya dengan
taqdir Allah),” maka Ibnu Umar Radhiyallahu
‘anhuma berkata: “Sampaikan kepada mereka
bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka
pun berlepas diri dariku. Demi Dzat yang Abdullah
bin Umar bersumpah dengan-Nya (Allah), jika
salah seorang dari mereka mempunyai emas
sebesar gunung Uhud kemudian
menginfaqkannya, tidak akan diterima (oleh Allah)
sampai mereka beriman dengan taqdir.” (HR.
Muslim no. 1)

Sikap Para Tabi’in dan Ulama Terhadap Pelaku
Kebatilan

Para tabi’in juga berpegang teguh dengan prinsip
ini. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ayyub
As-Sakhtiyani rahimahullah, ia berkata: “Sa’id bin
Jubair telah berkata kepadaku: “Aku melihatmu
bersama Thalq.” Aku (Ayyub) berkata: “Ya, ada
apa dengannya?” Sa’id bin Jubair berkata:
“Jangan duduk-duduk bersamanya karena ia
seorang Murji` (yang berpemikiran irja`).
Kemudian Ayyub mengomentari nasehat Sa’id bin
Jubair: “Aku tidak meminta pendapatnya dalam
perkara ini, namun sudah semestinya bagi
seorang muslim bila melihat sesuatu yang buruk
pada saudaranya agar mengingatkannya.” (Asy-
Syari’ah, karya Al-Ajurri rahimahullah hal.144)

Thawus bin Kaisan memperingatkan umat dari
Ma’bad Al-Juhani ‘si pengingkar taqdir’ dengan
menyebut namanya, beliau berkata: “Hati-hatilah
dari Ma’bad Al-Juhani karena sungguh ia seorang
pengingkar taqdir.” (Al-Ibanah, karya Ibnu
Baththah rahimahullah juz 2 hal. 453)


Ketika Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah
datang ke kota Bashrah, beliau memperhatikan
keadaan Ar-Rabi’ bin Shubaih dan kedudukannya
di kalangan umat, kemudian beliau bertanya: “Apa
madzhabnya?” Mereka menjawab: “Madzhabnya
tidak lain adalah As-Sunnah.” Sufyan berkata:
“Siapa kawan-kawan dekatnya?” Mereka
menjawab: “Ahlul qadar (para pengingkar taqdir).”
Maka Sufyan berkata: “(Kalau begitu) dia adalah
seorang Qadari (pengingkar taqdir).” (Al-Ibanah,
karya Ibnu Baththah juz 2 hal. 453)

Al-Imam Al-Ajurri rahimahullah berkata setelah
menyebutkan para imam di atas: “Barangsiapa
meneladani para imam tersebut, maka akan
selamat agamanya, insya Allah.”

Demikianlah teladan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa sallam, para shahabatnya, tabi’in, dan para
ulama setelah mereka, dalam menyikapi pelaku
kebatilan dari kalangan Ahlul Bid’ah. Dan ternyata
yang demikian itu tidak termasuk dari ghibah,
bahkan tergolong sebagai nasehat untuk umat.

Para imam Islam pun sepanjang masa senantiasa
berpegang teguh dengan prinsip ini. Bila anda
perhatikan apa yang mereka tulis dalam karya-
karya tulis mereka niscaya anda akan melihatnya
dengan jelas dan gamblang. Lihatlah apa yang
ditulis oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullah dalam kitabnya Ar-Raddu ‘Alal
Jahmiyyati Waz Zanaadiqah, bantahan Al-Imam
Ad-Darimi rahimahullah terhadap Bisyr Al-Marisi,
dan juga bantahan Ibnu Abdil Hadi rahimahullah
salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah terhadap As-Subki.

Adapun bantahan-bantahan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah terhadap ahlul ahwa` tidak terhitung
lagi banyaknya. Beliau benar-benar bagaikan
pedang terhunus bagi mereka. Lihatlah kitabnya
Ar-Raddu ‘alal Akhnaa’i dan kitab Ar-Raddu ‘alal
Bakri, bantahannya terhadap Imamul Haramain di
dalam kitab Dar`u Ta’arudhil ‘Aqli wan Naqli,
bantahan terhadap Ar-Razi dalam kitab Talbisul
Jahmiyyah, dan bantahannya terhadap Al-Ghazali
dalam kitab Minhajus Sunnah.
Bagaimana tidak… beliaulah yang mengatakan:

“Seorang yang membantah ahlul bid’ah adalah
mujahid, sampai-sampai Yahya bin Yahya
menyatakan pembelaan terhadap As-Sunnah lebih
utama dari jihad.” (Naqdhul Manthiq hal. 12)

Beliau juga berkata: “Sesungguhnya menjelaskan
dan memperingatkan umat dari keadaan para
penyeru bid’ah, yang perkataan atau ibadahnya
bertentangan dengan Al Qur`an dan As-Sunnah
merupakan suatu kewajiban yang disepakati oleh
kaum muslimin.

Telah dikatakan kepada Al-Imam Ahmad bin
Hanbal rahimahullah: “Siapakah yang lebih
engkau sukai, seorang yang selalu shaum
(berpuasa), shalat, dan i’tikaf ataukah seseorang
yang membicarakan ahlul bid’ah?” Maka beliau
menjawab: “Jika seseorang shaum (berpuasa),
shalat, dan i’tikaf, maka itu untuk dirinya sendiri.
Namun jika berbicara tentang ahlul bid’ah, maka
sungguh ia untuk kaum muslimin, dan itulah yang
lebih utama.” Beliau juga berkata: “Sebagian
mereka ada yang mengatakan kepada Al-Imam
Ahmad bin Hanbal, sesungguhnya berat bagiku
untuk berkata ‘fulan demikian dan fulan
demikian’, maka beliau berkata: ‘Jika engkau
diam dan aku pun diam, maka kapan lagi seorang
jahil bisa membedakan antara yang benar dan
yang salah.’

Demikianlah secara berkesinambungan hingga
zaman kita ini, para ulama Sunnah selalu
mengangkat tinggi bendera As-Sunnah dan
membelanya, serta memerangi bid’ah dan
memperingatkan (umat) dari ahlul bid’ah. Dan
segala puji hanya milik Allah yang telah
menjadikan di zaman kita ini orang-orang yang
menjaga kemurnian agama dan membela aqidah
salaf sehingga tidak tercemari oleh berbagai
macam kotoran.

 Perhatikanlah kitab-kitab Asy-
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah,
semuanya penuh dengan bantahan-bantahan
terhadap ahlul ahwa`. Perhatikanlah bantahan
beliau terhadap Al-Kautsari dan muridnya Abdul
Fattah Abu Ghuddah serta Ash-Shabuni dalam
hal sifat-sifat Allah, niscaya anda akan
mendapatinya dengan jelas di dalam kitab
Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutanawwi’ah.
Benar-benar beliau telah membantah sejumlah
ahlul bid’ah para pemilik nama-nama yang indah.
Al-Mu’allimi rahimahullah juga membantah Al-
Kautsari dalam kitab At-Tankil, dan perhatikan
bantahan-bantahan Asy-Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani rahimahullah terhadap ahlul
bid’ah seperti bantahannya terhadap Abu
Ghuddah di dalam muqaddimah kitab Al-’Aqidah
Ath-Thahawiyyah dan dalam kitab beliau Kasyfun
Niqab, dan juga bantahan beliau terhadap
Muhammad Al-Buuthi. Kaset-kaset beliau pun
penuh dengan diskusi tentang ahlul bid’ah serta
membongkar tipuan dan kerancuan-kerancuan
mereka.

Demikian pula bantahan-bantahan Asy-Syaikh
Shalih Al-Fauzan hafizhahullah terhadap ahlul
ahwa`, seperti bantahan beliau terhadap Al-Buuthi
di dalam kitab As-Salafiyah dan bantahan beliau
terhadap Ash-Shabuni. Bantahan-bantahan Asy-
Syaikh Al-‘Allamah Hamud At-Tuwaijiri
rahimahullah terhadap ahlul bid’ah pun sangat
banyak, di antaranya kitab Ar-Raddul Qawi ‘Alal
Mujrimil Atsim, Al-Qaulul Baligh Fit Tahdzir Min
Jama’atit Tabligh, dan Al-Ihtijaj Bil Atsar ‘Ala
Man Ankaral Mahdi Al-Muntazhar. Dan lihatlah
apa yang telah ditulis oleh Asy-Syaikh Rabi’ bin
Hadi Al-Madkhali hafizhahullah dalam
menyingkap aqidah Sayyid Quthub dan bantahan
terhadap orang-orang yang berlebihan
terhadapnya dalam empat kitab yang sangat
berharga; Adhwa‘ Islamiyah ‘Ala ‘Aqidati Sayyid
Quthub Wa Fikrihi, Matha’in Sayyid Quthub Fi
Ashhabi Rasulillah Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
Al-‘Awashim Mimma Fi Kutubi Sayyid Quthub
Minal Qawaashim, dan Al-Hadddul Fashil Bainal
Haqqi Wal Bathil, dan banyak lagi dari para ulama
selain mereka yang membela As-Sunnah dan
manhaj salaf siang dan malam, secara sembunyi
dan terang-terangan dengan mengharap pahala
dari Allah Azza wa jalla . Walhamdulillahi Rabbil
‘Alamiin.

Penutup

Dari bahasan di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa:

1. Kebatilan dan para pelakunya benar-benar
ada pada umat Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam .

2. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
tidak hanya menunjukkan jalan kebenaran
yang harus ditempuh oleh umatnya, tetapi
beliau juga memperingatkan mereka dari
kebatilan dan segala apa yang diada-
adakan dalam agama ini (bid’ah). Sehingga
betapa batilnya perkataan sebagian orang,
“Ajarkanlah kepada umat suatu kebenaran,
niscaya mereka dapat mengetahui kebatilan
dengan sendirinya.”

3. Di antara prinsip Islam adalah
memperingatkan umat dari kebatilan dan
pelakunya, sebagaimana yang dilakukan
oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam, para shahabat, tabi’in, dan ulama-
ulama Islam. Dari sini nampak kesesatan
dan kebatilan perkataan sebagian orang,
“Peringatkan umat dari kebatilan, namun
jangan sekali-kali berbicara tentang
pelakunya”, atau yang lebih ‘keren’ lagi
“Kita memperbaiki dan tidak
menghancurkan.”


4. Persatuan sejati adalah yang dibangun di
atas Al-Quran dan As-Sunnah dengan
pemahaman As-Salafush Shalih dengan
saling membantu dalam kebaikan dan
saling menasehati bila ada yang terjatuh
dalam kemungkaran.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa sallam:

“Bantulah saudaramu (sesama muslim) baik
dalam keadaan dzalim atau didzalimi.” Para
shahabat berkata, “Wahai Rasulullah,
membantunya dalam keadaan didzalimi bisa kami
mengerti, lalu bagaimana membantunya dalam
keadaan dzalim?” Beliau menjawab, “Kalian
mencegahnya dari perbuatan dzalim
tersebut.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul Mazhalim)

Maka dari itu konsep “persatuan dan rapatkan
barisan” yang hanya mengedepankan ‘persatuan’
tanpa mempermasalahkan latar belakang
pemahaman agama masing-masing unsurnya,
bahkan tidak boleh saling mengkritik kesalahan
dan pelakunya dalam masalah yang prinsip
sekalipun, merupakan konsep yang batil.
Suatu konsep persatuan orang-orang Yahudi yang
diingkari oleh Allah Azza wa jalla dalam firman-
Nya:

“Mereka tidak akan memerangi kamu secara
frontal, kecuali di kota-kota yang berbenteng atau
di belakang tembok. Permusuhan di antara
mereka sendiri sangat tajam. Kamu mengira
mereka itu bersatu, tapi hati mereka terpecah-
pecah. Itulah karena mereka kaum yang tidak
mau berpikir.” (Al-Hasyr: 14)
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Diterjemahkan dari kitab Tahafutus  Syi’arat-Wa
Suquthul Aqni’ah, karya Asy-Syaikh Abdul Aziz
bin Syabib Ash-Shaqr hal 3-10, dengan beberapa
perubahan dan tambahan oleh Ruwaifi’ bin
Sulaimi Al-Atsari)
————————————————-
Sumber : http://asysyariah.com/kritik-terhadap-kebatilan-dan-para-perilakunya-prinsip-islam-yang-kian-ditinggalkan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar